PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-62/PJ./2009
TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa
pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain
telah diatur mengenai ruang lingkup dan pihak yang berhak memperoleh manfaat
perjanjian;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk
memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
(2) Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya
disebut SPDN adalah subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(3) Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik
orang pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(4) Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, SPDN, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau
pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai
ketentuan yang berlaku.
(5) Agen (agent) adalah orang atau badan
yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas
nama pihak lain.
(6) Nominee adalah orang atau badan yang
secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk
kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta
dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
Pasal 2
(1) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek
pajak dalam negeri dari negara mitra P3B.
(2) P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi
penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Penyalahgunaan P3B
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a. transaksi yang tidak mempunyai
substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa
dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang
format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat
P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan
pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak
tidak sebagai Agen;
b. bertindak
tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan
Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang tidak dianggap
melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu
yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga
yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh
pejabat yang berwenang di Indonesia dan di Negara mitra P3B;
c. WPLN
yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan
penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan
atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam
hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan
yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e. bank;
atau
f. perusahaan
yang memenuhi persyaratan:
1) pendirian perusahaan di negara mitra
P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk
pemanfaatan P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3) perusahaan mempunyai pegawai; dan
4) mempunyai kegiatan atau usaha aktif;
dan
5) penghasilan yang bersumber dari
Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
6) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu
P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat
ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain
yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan
tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga,
dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
Pasal 5
(1) Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Pemotong/Pemungut
Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan
wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008; dan
b. WPLN
yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara
format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya
(economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).
Pasal 6
Dalam hal WPLN
dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat
meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian
melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pasal 7
Pada saat berlakunya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak
Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status
Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Mitra;
dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5
November 2009
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar