PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-61/PJ/2009
TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain,
antara lain diatur mengenai hak pemajakan pemerintah Indonesia atas
penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk
memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Repulbik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang
pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak yang telah diisi dengan lengkap dan telah ditandatangani oleh
WPLN, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B.
5. Surat Pemberitahuan Masa yang
selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penyetoran atas pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu masa tertentu sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Pemotong/Pemungut
Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 3
(1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B,
dalam hal:
a. Penerima
penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
b. Persyaratan
administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;
dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh
WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan
P3B.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau
memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
[Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen; atau
b. WPLN
bank.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN
kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah
ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini;
b. telah
diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah
ditandatangani oleh WPLN;
d. telah
disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
e. disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga,
dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
(5) Lembaga yang namanya disebutkan secara
tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B tidak perlu menyampaikan SKD.
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa
untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar
penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2) Formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam
P3B sejak tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang dari
negara mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua belas) bulan.
Pasal 6
WPLN dapat
menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya
terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B tidak
diberikan akibat persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pasal 7
Tata cara penerapan
P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
(1) Bukti pemotongan/pemungutan pajak wajib
dibuat oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
(2) Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima
atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong atau dipungut di
Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong/Pemungut Pajak
tetap diwajibkan untuk membuat bukti pemotongan/pemungutan pajak.
Pasal 9
(1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib
menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
melakukan penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan
melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
melakukan penelitian mengenai ada atau tidaknya bentuk usaha tetap dari WPLN
yang berada di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa WPLN
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan belum terdaftar sebagai Wajib Pajak,
Kantor Pelayanan Pajak memberitahukan Kantor Pelayanan Pajak tempat bentuk
usaha tetap seharusnya terdaftar untuk dikirimi Surat Himbauan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Pada saat berlakunya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-04/PJ.101/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Masa Transisi Penerapan
SE-03/PJ.101/1996;
dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5
November 2009
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar